Bicara Cinta

Bicara Cinta

Berbicara tentang cinta, apatah lagi di media sosial, adalah sebuah
hal memalukan bagi seorang lelaki. Karena itu akan membongkar sisi
melankolis dirinya yang meskipun setiap lelaki memilikinya tetapi
tidak untuk diumbar. Mengucap kata "cinta" saja seorang lelaki sudah
terdengar melankolis meski yang dibahas tidak melulu soal sedih dan
galau. Walau bagaimanapun kadang cinta itu memang harus dibahas.

Cinta itu adalah sebuah rasa yang melahirkan sikap berkasih sayang. Ia
bisa dirasakan kepada siapa saja, baik orang tua kepada anak, saudara
kepada saudara dan tentu juga kepada lawan jenis.

Cinta, jika dibahas dalam konteks yang lebih sempit pada cinta kepada
lawan jenis, bukan berarti pembahasannya menjadi lebih sederhana,
bahkan bisa menjadi lebih rumit. Ada banyak istilah yang lahir dari
orang-orang yang telah menjalani cinta terutama dari jalur yang tidak
hallal, mulai dari Php, friendzone, LDR, kakak-adek, HTS, sampai yang
tidak terdefinisikan bentuknya. Yang jelas dari semua istilah itu
hanya satu rasa yang hadir yaitu "NYESEK" dan yang indah pun akan
berakhir nyesek. Menjalaninya dan melewatinya pasti nyesek. Belum
termasuk lagi tentang cinta bertepuk sebelah tangan, rindu tak
berbalas, sampai antara rindu atau melupakan gak tau harus ngapain.
Macam-macam kisahnya yang tertuang dalam kisah sinetron dan lirik
lagu-lagu melankolis. Begitulah jika cinta tidak pada jalurnya.
Berbeda jika cinta ada pada pernikahan, seberat dan serumit apapun
akan berganjar pahala, berkasih sayangnya pun bernilai sedekah.

Seseorang yang telah cukup usianya, pasti mau tidak mau akan merasakan
cinta, betapapun ia sudah berusaha menafikannya. Dalam peluang
terkecil sekalipun untuk terlepasnya, sang panah cinta selalu dapat
menghujam. Kau bahkan tak tau cinta akan hadir dari mana, entah dari
teman sekolah, teman sekampus, teman sejawat, teman sesama aktivis,
teman ngobrol, atau yang paling kekinian adalah teman yang dikenal via
media sosial. Yang jelas siapapun yang bukan mahram akan berpeluang.
Karena memang era informasi pada saat ini telah membuat interaksi
antar manusia termasuk kepada lawan jenis sudah tak bersekat lagi.
Permasalahannya terletak pada bagaimana menempatkan cinta. Cinta
tidaklah sama dengan zina meski dalam pengistilahan dari dunia barat
kedua hal ini sepertinya sudah melebur. Namun cinta itu jauh lebih
luas cakupannya, jauh lebih suci. Koridor yang mana cinta dan yang
mana zina dalam agama sudah sangat jelas dan tidak perlu dibantah
lagi. Yang jelas jika dalam Alquran surat al isra' ayat 32 untuk
mendekati zina sudah dilarang maka otomatislah praktek pacaran dan hal
sejenisnya menjadi haram.

Cinta dalam wujudnya sebagai Virus Merah Jambu (VMJ) dalam dunia
aktivis dakwah telah menjadi musuh laten yang kadang dilawan secara
organisasi namun diterima secara personal, begitu besarnya efek cinta
sehingga membuat banyak orang menjadi "semunafik" itu, tak peduli pada
level aktivis muda maupun pada level ustadz/ustadzah.

Beberapa hari yang lalu saya mendapat "kabar gembira" tentang putusnya
salah seorang binaan dengan pacarnya, tidak mudah meyakinkannya
semenjak pertama kali ia mengakui pacaran. Satu hal yang saya catat
tentang fenomena ini, bahwa anak-anak sekarang sudah berani terbuka
mengungkapkan hal-hal seperti ini termasuk kepada pembinanya, berbeda
dengan anak-anak dulu yang cenderung malu-malu bahkan menyembunyikan,
sisi positifnya adalah hal ini memudahkan untuk mendeteksi kemudian
menyadarkan "si pelaku" namun ada kekhawatiran besar bahwa apakah
sikap terbuka itu adalah tanda dari sudah seberapa parahnya serangan
VMJ itu pada saat ini.

Panduan menghindari hal buruk dari Rasulullah saw sebenarnya sudah
sangat jelas, dianjurkan untuk berpuasa karena puasa adalah ibarat
sebuah benteng, namun ketika rasa sudah begitu menggelora maka tidak
ada jalan selain menikah dengan catatan sudah cukup mampu bertanggung
jawab nafkah lahir batin. Jika tidak, harap sabar menanti. "Penantian
selalu melahirkan sifat sabar, dan sifat sabar akan selalu berbuah
manis" begitu kata pembelaan dari salah seorang teman yang tergolong
jomblo senior. Namun pembelaan itu hanya cocok bagi yang terlalu muda
seperti anak-anak sekolah atau yang kuliah semester muda.
Yang paling baik adalah adanya bantuan dari pihak yang mampu kepada
yang sudah ingin. Karena sudah menjadi perintah agama untuk membantu
orang yang ingin menikah. Pada beberapa jama'ah telah difasilitasi
mulai dari motivasi hingga pada taraf mencari pasangan. Bahkan ada
yang sudah memfasilitasi dari mulai mencari nafkahnya, namun memang
tipe bisnis yang ditawarkan untuk mencari nafkahnya belum termasuk
tipe bisnis yang populer alias bikin orang ragu-ragu.

Cinta, apakah sudah saatnya?
Jika dipatok pada teman-teman sekelas di SMA (saya dari SMK) maka saat
ini ada empat orang yang sudah menikah, tiga di antaranya sudah
memiliki anak. Belum lagi jika dilihat dari teman SMP dan teman SD,
tentu akan lebih banyak. Menjadi lucu jika melihat teman-teman yang
menikah duluan itu termasuk teman yang bengal semasa sekolah, tentu
yang terbayang ia akan menghabiskan waktu untuk bermain-main lebih
banyak, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Hal ini sudah cukup
membuat saya berfikir betapa cepatnya waktu berlalu dan bahwa ternyata
kami memang sudah benar-benar dewasa. Kadang tak sadar bahwa usia kami
telah ada di ambang usia saat Rasulullah saw menikah, dan tepat pula
pada usia paling produktif manusia. Kadang penyadaran perlu dilakukan
berulang-ulang sampai lahir tekad yang bulat, seorang teman mengakui
bahwa ia harus tiga kali mengikuti pelatihan dan motivasi (bukan
dibully -red) hingga akhirnya mendapat tekad yang bulat pada pelatihan
yang ke empat. Tulisan inipun dalam rangka penyadaran pada diri
sendiri dan juga teman-teman seangkatan apatah lagi yang lebih tua.
Kita (atau kami lebih tepatnya) butuh lebih banyak penyadaran dan hal
yang lebih konstruktif dari sekedar pembullyan.

Sesteril apapun seseorang dari VMJ (atau di satu sisi tidak bisa
dikatakan virus tapi lebih kepada fitrah) jika sudah sampai saatnya
tentu ia akan pula merasakan butuh akan cinta, mendambakan kekasih
hati. Timbulah perasaan galau, ia yang semula tampak kuat menghadapi
godaan kini tiba-tiba bersikap seperti orang-orang yang telah
disebutkan tadi. Karena ini sudah perkara fitrah yang sudah tiba
waktunya, ditambah lagi dengan pembullyan di sana sini yang kadang
sampai membuat makan tak sedap tidur tak nyenyak.

Perlu dicatat bahwa tidak ada satupun ustadz dalam kajiannya seputar
nikah yang menganjurkan untuk mempertimbangkan hal-hal bersifat
duniawi semisal harta dan bentuk fisik pasangan sebagai persiapan
untuk menikah, bahkan tidak pula tentang pengetahuan agamanya. Artinya
tidak harus menunggu mapan untuk menikah yang penting bertanggung
jawab, tidak perlu fisik yang terlalu menarik jika kepribadiannya
sudah dapat menarik hati, tidak perlu menunggu orang yang faqih atau
bahkan ulama untuk melamar yang penting engkau ridha pada agamanya.

Demikianlah, agar hendaknya rasa takut akan terjerumus tersebab godaan
yang semakin besar dapat lebih besar dibanding rasa takut tidak mapan
saat menikah. Karena rezeki dalam pernikahan telah dijamin yang salah
satunya terdapat dalam hadits riwayat Thabrani "Menikahlah dengan
penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridha-Nya. Allah pasti
akan membantu dan memberkahi." Tinggal bagaimana rasa yakin itu
diejawantahkan menjadi tanggung jawab yang besar dalam menafkahi dan
rasa tabah yang besar dalam membangun kemapanan keluarga dari nol yang
tentu rasanya akan lebih berkesan dibanding hanya menerima di saat
mapan dan tidak mampu bertahan di saat sulit.