bismillahirahmanirahim
KUTIPAN DARI MILIS, DISEBARKAN KEMBALI DENGAN SEIZIN PENULIS ASLI ;
Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?
1. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?
2. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan?
3. Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?
4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?
Wassalam,
Fulanah di Solo
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.
1. Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:
a. Wanita itu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nur: 3:
الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”
b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah1 karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “‘Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”