Hukum Lelang Dalam Islam

Hukum Lelang Dalam Islam

*Ustadz Menjawab*
_Ahad, 28 Agustus 2016_
��Ustadz Rikza Maulan, Lc.M.ag

���� *Menjual Barang dgn Lelang*

Assalamu'alaikum ustadz/ah..
Mengenai proses menjual barang dengan cara lelang (lelang barang antik, perhiasan, barang ex Orang Terkenal) yang cara pelaksanaannya biasanya :
- langsung di depan banyak calon pembeli.
- terus mencari harga tertinggi sampai tidak ada lagi yg menawar lebih tinggi.
- harga barang jadi tidak wajar bahkan bisa sangat mahal ...sangat fantastis.

1. Bagaimana hukumnya proses menjual seperti itu ?

2. Apakah termasuk " Jual Beli Najsyi" ( materi Manis, Jual Beli Najsyi, Ust. Rikza Maulan, Lc. M.Ag)

3. Bagaimana juga jika lelang tersebut untuk 'amal baik (bantuan kemanusiaan untuk korban perang, bencana, dll.)
Mengingat bisa ada faktor gengsi di depan khalayak sewaktu membelinya dan sesudahnya ada kemungkinan menyesal. # I-06

Jawaban
-------------

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته ،
1. Hukum jual beli lelang adalah boleh. Istilah fiqh nya *bai' muzayadah* . Dahulu Rasulullah Saw pernah menjual semacam pelana kepada para sahabatnya, 'Siapakah yg mau membeli ini?" Lalu ada sahabat yg mengatakan, "saya membelinya dgn harga 1 dirham." Kemudian Rasulullah Saw bertanya lagi, "adakah yg mau membeli lebih dari itu? Kemudian ada sahabat lain yg mau membelinya dgn harga 2 dirham."

Namun syaratnya jual beli lelang harus dilakuakan secara fair, terbuka dan sesama peserta memahami bahwa sistemnya adalah seperti itu.
Adapun jika dalam lelang harga jadi melambung tinggi, maka tidak mengapa selama prosesnya  dilakukan secara fair dan terbuka, sesuai dengan mekanisme pasar secara umum.

2. Jual beli najsyi adalah jual beli dgn meninggikan harga penawaran barang, agar si pembeli tertipu dan membeli barangnya dgn harga tinggi. Dan hal tersebut merupakan inisiatif dari si pedagang, sementara si pembeli tidak tahu harga sebenarnya. Terkadang bentuknya si penjual meminta bantuan teman2nya utk pura - pura menawar dgn harga tinggi, supaya ketika ada calon pembeli yg sebenarnya, ia terpengaruh oleh tawaran tinggi dari orang2 yg sebenarnya adalah temannya si pedagang. Jual beli seperti ini adalah dilarang.

3. Lelang untuk apa saja boleh, termasuk untuk amal sosial dan bantuan kemanusiaan, selama prosesnya terbuka, fair dan adil.

Wallahu A'lam.

��������������

www.iman-manis.com

Cara Pembagian Daging Qurban

Cara Pembagian Daging Qurban

�� Pemateri: *Ustadz Farid Nu'man Hasan

����������������

Pemilik hewan kurban berhak mendapatkannya dan memakannya. Hal ini berdasarkan perintah dari Allah Ta’ala sendiri:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  

�� “.. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik hewan kurban berhak memakannya, lalu dibagikan untuk orang sengsara dan faqir, mereka adalah pihak yang lebih utama untuk mendapatkannya. Selain mereka pun boleh mendapatkannya, walau bukan prioritas.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف .وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث.

��          “Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. DIa pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian,  untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.”[1]

*9⃣          Bolehkah Berqurban Untuk Orang Yang Sudah Wafat?*

Imam Al Bahuti mengatakan:

قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .

��Imam Ahmad berkata: bahwa  semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. [2]

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ .

��            “Segala puji bagi Allah. Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan, bahkan para imam Islam sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah ketahui secara pasti dalam agama Islam, hal itu telah ditunjukkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barang siapa yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli bid’ah.” [3]

Beliau juga berkata:

وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ : كَالْعِتْقِ

��            “Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maaliyah (harta), seperti membebaskan budak.”  [4]

                Dan, qurban termasuk ibadah maaliyah.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

أَيَّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الإِْنْسَانُ وَجَعَل ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى : كَالدُّعَاءِ وَالاِسْتِغْفَارِ ، وَالصَّدَقَةِ وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِي تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ

��            “Amal apa pun demi mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu, Insya Allah, seperti: doa, istighfar, sedekah, dan berbagai kewajiban yang bisa diwakilkan.” [5]

*Kelompok yang membolehkan berdalil:*

1.       Diqiyaskan dengan amalan orang hidup yang sampai kepada orang yang sudah wafat, seperti doa, sedekah, dan haji.

2.       Ibadah maaliyah (harta) bisa diniatkan untuk orang yang sudah wafat seperti sedekah, dan berqurban jelas-jelas ibadah maaliyah.

3.       Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa qurban untuk orang yang sudah wafat adalah boleh dan pahalanya sampai, Insya Allah.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

��                ‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa min  ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad dan umat Muhammad),” lalu beliau pun menyembelih.” [6]

                Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan agar qurban dari Beliau, dan umatnya diterima Allah Ta’ala. Hadits ini menyebut “umat Muhammad” secara umum, tidak dikhususkan untuk yang masih hidup saja. Sebab, “umat Muhammad” ada yang masih hidup dan yang sudah wafat.

                Sebenarnya, telah terjadi perbedaan pandangan para ulama tentang berqurban untuk orang yang sudah wafat. Berikut ini rinciannya:

إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ . فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ . أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَا فَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ . وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لأَِنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ .
وَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ نَفْسِهِ ، وَالآْخَرُ عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِهِ .  وَعَلَى هَذَا لَوِ اشْتَرَكَ سَبْعَةٌ فِي بَدَنَةٍ فَمَاتَ أَحَدُهُمْ قَبْل الذَّبْحِ ، فَقَال وَرَثَتُهُ - وَكَانُوا بَالِغِينَ - اذْبَحُوا عَنْهُ ، جَازَ ذَلِكَ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الذَّبْحَ عَنِ الْمَيِّتِ لاَ يَجُوزُ بِغَيْرِ وَصِيَّةٍ أَوْ وَقْفٍ .

��                Jika seseorang berwasiat untuk berkurban atau berwaqaf untuk itu, maka dibolehkan berkurban baginya menurut kesepakatan ulama. Jika dia memiliki kewajiban karena nazar atau selainnya, maka ahli warisnya wajib melaksanakannya. Ada pun jika dia tidak berwasiat, dan ahli waris dan selainnya nya hendak berkurban untuknya dari hartanya sendiri, maka menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, membolehkan berkurban untuknya, hanya saja Malikiyah membolehkan dengan kemakruhan. Mereka membolehkan karena kematian tidaklah membuat mayit terhalang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala sebagaimana sedekah dan haji.

                Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing kibas, satu untuk dirinya dan satu untuk umatnya yang belum berkurban. Atas dasar ini, seandainya tujuh orang berpartisipasi dalam kurban Unta, lalu salah seorang ada yang wafat sebelum penyembelihan. Lalu ahli warisnya mengatakan –dan mereka sudah baligh- : sembelihlah untuknya, maka itu boleh. Sedangkan kalangan Syafi’iyah berpendapat tidak boleh berkurban untuk mayit  tanpa diwasiatkan dan waqaf. [7]

Bersambung ...

����������
*Daftar Pustaka*
[1] Ibid, 1/742-743
[2] Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16
[3] Majmu’ Fatawa, 5/466. Mawqi’ Al Islam
[4]  Ibid
[5] Al Mughni, 567-569
[6]  HR. Muslim No. 1967
[7] Al Bada’i Shana’i, 5/72. Hasyiyah Ibnu Abidin,  5/214. Hasyiyah Ad Dasuqi, 2/122, 123. Hasyiyah Al Bujirumi ‘alal Minhaj, 4/300.  Nihayatul Muhtaj, 8/136. Al Mughni ‘Alal Asy Syarh Al Kabir, 11/107. Muthalib Ulin Nuha, 2/472

����������������

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Ikuti Kami di:
Telegram : https://is.gd/3RJdM0
Fans Page : https://m.facebook.com/majelismanis/
Twitter : https://twitter.com/grupmanis
Istagram : https://www.instagram.com/majelismanis/

Qurban dan Pembahasannya

Qurban dan Pembahasannya

�� Senin, 19 Dzulqo'dah 1437H / 22 Agustus 2016

�� *HADITS DAN FIQIH*

�� Pemateri: *Ustadz Farid Nu'man Hasan.*

�� *Qurban dan Pembahasannya (Bag. 3)*

����������������

Materi sebelumnya...
http://www.iman-islam.com/2016/08/qurban-dan-pembahasannya-bag-2.html?m=1

*6⃣ Tata Cara Penyembelihan*

*�� Unta Didirikan dan Yang lain dibaringkan*

Jika unta maka dipotong sewaktu ia berdiri, dan itu sunah, ada pun yang lainnya dengan cara berbaring. Hal ini disebutkan beberapa hadits berikut:

وَنَحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَنَاتٍ بِيَدِهِ قِيَامًا

“Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembelih Unta dengan tangannya dengan cara berdiri ..” [1]

Dari Ziyad bin Jubeir, dia berkata:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَتَى عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يَنْحَرُ بَدَنَتَهُ بَارِكَةً فَقَالَ ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Bahwa Ibnu Umar mendatangi seorang laki-laki yang sedang menyembelih Unta sambil dibaringkan, lalu beliau berkata: “Bangkitkanlah agar berdiri,  lalu ikatlah, itulah sunah nabimu Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[2]

Didirikan dengan tiga kaki, dan kaki kiri depan diikat, dari Abdurrahman bin Sabith, dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ كَانُوا يَنْحَرُونَ الْبَدَنَةَ مَعْقُولَةَ الْيُسْرَى قَائِمَةً عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ قَوَائِمِهَا

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, mereka menyembelih Unta dengan keadaan kaki kiri depannya terikat, dan Unta berdiri atas tiga kakinya yang lain.”[3]

Sedangkan selain Unta, maka disembelih dengan cara dibaringkan. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

أما البقر والغنم، فيستحب ذبحها مضطجعة. فإن ذبح ما ينحر، ونحر ما يذبح، قيل: يكره، وقيل: لا يكره.

“Ada pun sapi dan kambing, disunahkan menyembelih dengan cara dibaringkan. Jika terjadi sebaliknya, yang diri justru dibaringkan atau yang baring justru didirikan, maka dikatakan: makruh, ada pula yang mengatakan; tidak makruh.” [4]

*Orang yang Menyembelih*

Disunnahkan orang yang menyembelih adalah yang berkurban, jika dia memiliki keahlian. Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

وَنَحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَنَاتٍ بِيَدِهِ قِيَامًا وَذَبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ كَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembelih Unta dengan tangannya sendiri sambil berdiri, di Madinah Beliau menyembelih dua ekor kambing Kibasy yang putih.”[5]

Namun, bagi yang tidak ada keahlian dianjurkan untuk menyaksikan penyembelihan. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq:

ويستحب أن يذبحها بنفسه، إن كان يحسن الذبح، وإلا فيندب له أن يشهده.

“Disunahkan disembelih sendiri oleh yang berkurban, jika dia bisa menyembelih dengan baik, jika tidak bisa, maka dianjurkan untuk menyaksikan.”[6]

Dibolehkan menurut ijma’i ulama bagi orang bisu untuk menjadi penyembelih. Berkata Imam Ibnul Mundzir:

وأجمعوا على إباحة ذبيحة الأخرس.

“Para ulama telah ijma’ (sepakat), bahwa bolehnya sembelihan dari orang bisu.”[7]

_��Tasmiyah (membaca bismillah)_

Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan wajib membaca bismillah (dan takbir) ketika menyembelih, sebagian lain mengatakan sunah. Namun, yang benar adalah wajib, sebab Allah Ta’ala berfirman:

“Maka makanlah dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-ayatNya.”
(QS. Al An’am (6): 118)

Ayat ini mengaitkan antara keimanan dengan menyebut nama Allah Ta’ala ketika menyembelih, maka tidak syak (ragu) lagi atas wajibnya hal tersebut.

Dari Ibnu Umar, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:

وَلَا آكُلُ إِلَّا مَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Aku tidaklah makan makanan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya, pen).”[8]

عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“Dari Anas, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing Kibas berwarna putih dan bertanduk, dan memotong keduanya dengan tangannya sendiri, beliau menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi Kibas tersebut (untuk mencengkram, pen).”[9]

_��Mendoakan Orang Yang Berkurban_

Hal juga dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak menyembelih. Sebagimana yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
              
‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa Aali Muhammad wa  min  ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad, dari keluarga Muhamamd dan umat Muhammad),” lalu beliau pun menyembelih.” [10]

*Daftar Pustaka*

����������

[1] HR. Bukhari No. 1551, Al Baihaqi dalam As sunan Al Kubra No.  9993, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1879
[2] HR. Muslim No. 1320
[3] HR. Abu Daud No. 1767, sAs Sunan Al Kubra No. 9999, Syaikh Al Albany menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud  No. 1767.
[4] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/741
[5]  Lihat takhrijnya pada catatan kaki No. 26
[6] Syaikh Sayyid Sabiq. Ibid.
[7] Imam Ibnul Mundzir, Kitabul Ijma’,  No. 220
[8] HR. Bukhari No. 5565
[9] HR. Muslim No. 1967
[10] Ibid

*7⃣   Upah Untuk Penjagal (Penyembelih)*

Tidak boleh memberikan upah dengan mengambil dari daging kurban, atau kepalanya, atau bagian tubuh mana pun, sebab Daging kurban adalah harta yang dipersembahkan dari dan untuk kaum muslimin, oleh karena itu dia tidak boleh dijadikan sebagai alat pembayaran/upah atau dijual belikan, termasuk kulitnya, demikian ijma’ (kesepakatan) para ulama. Namun, "penyembelih dibolehkan diberikan sedekah darinya", dan tidak dinamakan upah. Sedangkan upahnya diambil dari sumber dana yang lain.

Dalilnya adalah, dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan unta-untanya dan  mensedekahkan daging, kulit, dan bagian punuknya, dan saya diamanahkan agar tidak memberikan si tukang potong dari hasil potongan itu (sebagai upah).” Ali berkata: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.”[1]

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang hadits tersebut:

وأنه لا يجوز أن يعطى الجزار منه شيئا، على معنى الاجرة، ولكن يعطى أجرة عمله، بدليل قوله: " نعطيه من عندنا ". وروي عن الحسن أنه قال لا بأس أن يعطى الجازر الجلد.

�� “Bahwa tidak diperbolehkan memberikan tukang potong dari hasil potongannya sedikit pun, maksudnya adalah tidak boleh memberikan upah (dari daging potongan), tetapi dia boleh diberikan upah atas kerjanya itu, dalilnya adalah: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.” Diriwayatkan oleh Al Hasan bahwa dia berkata: “Tidak mengapa memberikan kulit untuk tukang potongnya.”[2]

Jadi, ada beberapa pelajaran dari hadits tersebut.
Pertama, tukang potong tidak diupah dengan daging hewan kurban, namun boleh diberikan daging tersebut untuknya asalkan atas nama sedekah, bukan upah, sebab daging kurban adalah hak seluruh kaum muslimin, termasuk si pemotong. 

Kedua, tukang potong boleh diupah melalui sumber dana lain.

Ketiga, dibolehkannya pengurusan hewan kurban diamanahkan kepada orang lain. (istilah sekarang: Panitia Qurban).

Keempat, semua daging dan kulitnya adalah dibagi-bagikan (disedekahkan), bukan dijual.

*��Hukum Menjual Daging, Kulit, dan lainnya*

Tertulis dalam Ta’sisul Ahkam:

التصدق بجميع الهدي وكل ما يتصل به

"Bersedekah itu adalah dengan semua qurban dan semua hal yang terkait dengannya."[3]

Imam Al ‘Aini mengatakan:

وفيه من استدل به على منع بيع الجلد قال القرطبي وفيه دليل على أن جلود الهدي وجلالها لا تباع لعطفها على اللحم وإعطائها حكمه وقد اتفقوا على أن لحمها لا يباع فكذلك الجلود والجلال

��Dalam hadits ini (hadits Ali Radhiallahu 'Anhu di atas) terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan terlarangnya menjual kulit. Berkata Al Qurthubi: “Pada hadits ini terdapat dalil  bahwa kulit hewan qurban dan Jilal (daging punuk Unta) tidaklah dijual belikan, karena hukum menyedekahkannya itu satu kesatuan dengan daging. Mereka (para ulama) sepakat bahwa daging tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya.” [4]

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فلا يجوز لكم إعطاء الجلد كأجرة للجزار، كما لا يجوز بيع شيء من الأضحية بما في ذلك الجلد له أو لغيره

��"Maka, tidak boleh bagimu memberikan kulit sebagai upah bagi penjagal, sebagaimana tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan qurban, seperti kulit atau lainnya."  [5]

Ada pula yang membolehkan, yakni Al Auza’i, Ishaq, Ahmad, Abu Tsaur, dan segolongan Syafi’iyah.  Abu Tsaur beralasan karena semua ulama sepakat bahwa kulit boleh dimanfaatkan, maka menjual  kulit termasuk makna “memanfaatkan.” [6]

Menurut mayoritas ulama adalah tidak boleh. Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

واختلفوا في جلدها وشعرها مما ينتفع به فقال الجمهور لا يجوز وقال أبو حنيفة يجوز بيعه بغير الدنانير والدراهم يعني بالعروض

��"Para ulama berbeda pendapat tentang menjual kulit dan bulunya, yang termasuk bisa dimanfaatkan. Mayoritas ulama mengatakan tidak boleh, Abu Hanifah berpendapat boleh menjualnya dengan bukan dinar dan dirham, yakni dengan ’uruudh (barang berharga selain emas)." [7]

Imam An Nawawi menjelaskan:

ومذهبنا أنه لا يجوز بيع جلد الهدى ولا الأضحية ولا شيء من أجزائهما

��"Pendapat madzhab kami adalah tidak boleh menjual kulit hewan qurban, tidak pula boleh dijual sedikit pun bagian-bagiannya."[8]
 
Beliau juga mengatakan:

وحكى بن المنذر عن بن عمر وأحمد واسحق أنه لا بأس ببيع جلد هديه ويتصدق بثمنه قال ورخص في بيعه أبو ثور

��"Ibnul Mundzir menceritakan bahwa Ibnu Umar, Ahmad, dan Ishaq menyatakan bahwa boleh menjual kulit hewan qurban, dan mensedekahkan uangnya. Katanya: Abu Tsaur memberikan keringanan dalam menjual kulit."[9]

Lalu, Imam An Nawawi juga menceritakan bahwa Al Auza’i dan An Nakha’i membolehkan menjual kulit dengan ayakan, timbangan, dan semisalnya. Al Hasan Al Bashri membolehkan kulit diberikan untuk penjagal. Lalu semua pendapat ini dikomentari Imam An Nawawi, katanya:

وهذا منابذ للسنة والله أعلم

��"Semua ini berlawanan dengan sunah. Wallahu A’lam."[10]

Demkianlah adanya perbedaan pendapat dalam hal menjual kulit. Namun, yang shahih –wallahu a’lam- adalah tidak boleh  menjualnya sesuai zahir hadits tersebut, dan apa yang dikatakan oleh Imam An Nawawi, bahwa menjualnya adalah: “Berlawanan dengan sunah.”
Wallahu A'lam

_Bersambung .._

����������

[1] HR. Muslim No. 1317
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/742.
[3] Ta’sisul Ahkam, 3/313
[4] Imam Badruddin Al ‘Aini,  ‘Umdatul Qari, 15/254
[5] Fatawa Syabakah Al Islamiyah, No. 58258
[6] Ibid
[7] Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 4/95
[8] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,9/65
[9] Ibid
[10] Ibid

����������������

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Ikuti Kami di:
Telegram : https://is.gd/3RJdM0
Fans Page : https://m.facebook.com/majelismanis/
Twitter : https://twitter.com/grupmanis
Istagram : https://www.instagram.com/majelismanis/
Play Store : https://play.google.com/store/apps/details?id=id.manis

Memaki Ulama Dengan Alasan Al Jarh Wat Ta'dil

Memaki Ulama Dengan Alasan Al Jarh Wat Ta'dil

�� Jum'at, 16 Dzulqo'dah 1437H / 19 Agustus 2016

�� *AKHLAQ DAN ADAB*

�� Pemateri: *Ust. Farid Nu'man Hasan*

Sebagian orang ada yang punya hobi unik. Membongkar aib, mencela, dan memaki para ulama, da’i, dan muballigh, seakan itu amal shalih tertinggi dan seolah untuk itu mereka dilahirkan. Mereka melakukan legitimasi dengan berdalih bahwa itu termasuk ghibah yang diperbolehkan sebagaimana yang dirinci oleh Imam An Nawawi Rahimahullah dalam Riyadhushshalihin. Padahal para ulama, da’i, dan muballigh yang mereka cela itu tidak memenuhi syarat sedikit pun untuk dighibahi tapi dengan takalluf (maksain) perbuatan ini menjadi halal baginya.

Alasan lain, mereka anggap yang mereka lakukan adalah menilai manusia dengan kaidah dan prinsip al jarh wat ta’dil, yaitu prinsip yang dipakai para imam hadits untuk meneliti kelayakan seorang perawi hadits dalam membawa hadits, berita, dan riwayat. Ketika seorang ulama, da’i, dan muballigh, memiliki kesalahan –dan pastinya setiap manusia punya salah- mereka anggap itu adalah jarh (kritik-cacat) padanya yang membuatnya tidak boleh lagi didengar   kajiannya, perkataannya, bukunya, dan apa pun yang berasal darinya, walau pun ada manusia lain memujinya (ta’dil). Mereka anggap, cacat yang ada pada da’i ini lebih dipertimbangkan dibanding pujian manusia baginya, apalagi jika pujian tersebut masih umum sementara pencacatan tentangnya lebih rinci dan banyak. Istilahnya al jarh al mufassar muqaddamun ‘alat ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih didahulukan dibanding pujian yang masih umum.

Apakah bisa dibenarkan apa yang mereka lakukan ini? Yakni menggunakan kaidah Al Jarh wat Ta’dil untuk menilai para ulama, da’i, dan muballigh zaman ini, yang dengan itu mereka bisa diambil ilmunya atau tidak. Akhirnya, mereka menolak ilmu dari ulama mana pun, hanya mau menerima dari golongannya saja, dengan alasan bahwa yang lainnya tidak selamat dari jarh. Lucunya, pihak yang melakukan jarh (ahlut tajrih) juga di jarh oleh yang lainnya.

Mereka tolak para ulama dan du'at seperti Al Banna, Quthb bersaudara, Sayyid Sabiq, Al Qaradhawi, Salman Al ‘Audah, ‘Aidh Al Qarni, Safar Al Hawali, Mutawalli Asy Sya’rawi, Abdul Hamid Kisyk, Abul A’la Al Maududi, Abul Hasan An Nadwi, Jasim Al Muhalhil, Abdul Fattah Abu Ghuddah, Ahmad Ar Rasyid, Taufiq Al Wa’i, Abdurrahman Abdul Khaliq, Sulaiman Asyqar, dan sebagainya, apalagi sekadar ulama nusantara –NU, Muhammadiyah, Persis, Dll- yang dianggap tidak ada ulama di Indonesia, karena dianggap bukan ulama bagi mereka, dan sudah di jarh oleh masyayikh mereka. Si fulan begini, si fulan begitu, ustadz anu begini, ustadz anu begitu ….., dan seterusnya, hanya mau memuji dan mendengar ulama, da’i, ustadz, muballigh dari kelompoknya saja. Sangat fanatik dengan kelompoknya. Anehnya, sesama masyayikh mereka pun juga saling jarh, saling tabdi’ (membid’ahkan), tafsiq (memfasikan), dan sebagainya. Padahal di antara syarat seseorang boleh melakukan jarh adalah dia sendiri tidak terkena jarh, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Ajaj Al Khatib dalam Ushulul Hadits-nya. Lebih parah lagi jika yang men-jarh adalah orang awam, bukan ulama tapi begitu jumawa men-jarh para ulama.

Sungguh jika gaya berpikir mereka dipakai, niscaya tidak ada satu pun di muka bumi ini baik ulama, da’i, ustadz, dan muballigh yang selamat dan kita bisa ambil ilmunya. Sebab, adakah manusia yang sama sekali tidak punya kesalahan, ketergelinciran, dan lalai? Maka, yang mereka lakukan bukanlah al jarh wat ta’dil tetapi ghibah (gunjing), namimah (adi domba), dan sibaabul muslim (mencela muslim), kesemuanya ini buruk dan berdosa.

Oleh karena itu, ada baiknya kita perhatikan komentar para ulama tentang orang-orang yang menyalahgunakan kaidah Al Jar wat Ta’dil untuk mencela para da’i dan ulama.

��Syaikh Hasan bin Falah Al Qahthani berkata:

“Besar sekali bedanya antara Ilmu Al Jarh wat Ta’dil yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab dan karya-karya mereka, dengan pelecehan terhadap para ulama dan da’i, pencemaran nama baik, dan penyebaran aib serta kesalahan seseorang dengan mengatasnamakan Al Jarh wat Ta’dil yang terjadi sekarang ini.” (Syaikh Hasan bin Falah Al Qahthani, An Naqd; Adabuhu wa Dawafi’uh, Hlm. 34. Cet. 1, 1993M-1414H, Dar Al Humaidhi, Riyadh)

�� Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah menyatakan itu bukan al jarh wat ta’dil tapi ghibah dan namimah:

سماحة الشيخ من هم علماء الجرح والتعديل في عصرنا الحاضر ؟

الجواب :
والله ما نعلم أحداً من علماء الجرح والتعديل في عصرنا الحاضر ، علماء الجرح والتعديل في المقابر الآن ، ولكن كلامهم موجود في كتبهم كتب الجرح والتعديل والجرح والتعديل في علم الإسناد وفي رواية الحديث ، وماهو الجرح والتعديل في سبِّ الناس وتنقصهم ، وفلان فيه كذا وفلان فيه كذا ، ومدح بعض الناس وسب بعض الناس ، هذا من الغيبة ومن النميمة وليس هو الجرح والتعديل .

Penanya: Syaikh yang mulia, siapakah yang dimaksud dengan ulama al jarh wat ta’dil pada masa kita sekarang ini?

Syaikh: Demi Allah, kami tidak mengetahui seorang pun ulama al jarh wat ta’dil pada saat ini. Sekarang ini para ulama al jarh wat ta’dil telah berada di dalam kubur. Akan tetapi, perkataan mereka tetap ada di dalam kitab-kitab mereka, kitab al jarh wat ta’dil. Al jarh wat Ta’dil itu hanya ada dalam ilmu sanad dan riwayat hadits. Dan mencela manusia serta menjatuhkannya bukanlah bagian dari ilmu al jarh wat ta’dil. Mengatakan si fulan begini… si fulan begitu… memuji sebagian orang dan mencela sebagian yang lain adalah ghibah dan namimah. Dan itu bukan al jarh wat ta’dil.

Lihat di (http://www.almanhaj.com/vb/showthread.php?t=1471&page=8&p=34223#post34223)

�� Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi ditanya:

هل يوجد في هذا الزمان علماء جرح وتعديل وهل يوجد تفريق بينهم ؟

الشيخ :
علم الجرح والتعديل إنتهى ، لإنه دوّنت الآن الكتب والأحاديث في الصحاح والسنن والمسانيد والمعاجم …. فلا يوجد جرح وتعديل ، والجرح والتعديل للمحدثيين إنتهى .

Apakah ada di zaman ini ulama jarh wa ta’dil dan apakah ada perbedaan di antara mereka?

Syaikh menjawab: “Ilmu al jarh wat ta’dil sudah selesai, sebab ilmu tersebut saat ini sudah terlembagakan dalam buku-buku dan hadits-hadits baik dalam shahih, sunan, musnad dam mu’jam. Maka, tidak ada lagi jarh wa ta’dil, dan al jarh wat ta’dil adalah haknya para ahli hadits. Selesai.” (Ibid)

�� Syaikh Abdullah Al Ghudyaan Hafizhahullah ditanya:

السائل : يا شيخ هل هذا صحيح هناك من يقول أنه يوجد علماء الجرح و التعديل في هذا الزمان ! ، فهل هذا صحيح ؟ .
الشيخ : والله يا أخي علم الجرح والتعديل موجود في الكتب

.السائل : في وقتنا هذا هل يوجد ؟

الشيخ : لا ، علم الجرح والتعديل عن علماء الحديث الذين نقلوا لنا الأحاديث بالأسانيد موجود في كتب الجرح والتعديل فما نحتاج إلى أحد الحين

السائل : يا شيخ هناك من يقول أن الدكتور ربيع بن هادي المدخلي حامل لواء الجرح والتعديل ؟!! .
الشيخ : لا ، أنا لو يصادفني في الطريق ما عرفته يمكن ، ما عليّ من أحد .

Penanya: Wahai Syaikh, apakah benar ada pihak yang mengatakan ada ulama jarh wa ta’dil di zaman ini, apakah ini benar?

Syaikh: Demi Allah ya akhi, ilmu al jarh wat ta’dil ada dalam kitab-kitab.

Penanya: Di zaman kita adakah?

Syaikh: “Tidak ada, ilmu al jarh wat ta’dil itu tentang ulama hadits yang menukilkan hadits kepada kita beserta sanad-sanadnya, adanya dalam kitab-kitab al jarh wat ta’dil, jadi saat ini kita tak lagi membutuhkan seorang pun (karena ilmu tersebut sudah selesai, pen).”

Penanya: “Syaikh, ada yang bilang bahwa Dr. Rabi’ Al Madkhali adalah pembawa bendera Al Jarh wat Ta’dil?”

Syaikh: “Tidak, seandainya dia ketemu saya di jalan mungkin saya tidak mengenalnya, saya tidak ada masalah dengan seorang pun.” ((Lihat https://www.youtube.com/watch?v=3GY10B9B_ec, menit ke 01:45-02:35)

Demikian. Wallahu A'lam

������������������

Dipersembahkan oleh:
website: http://www.iman-islam.com
Telegram : https://is.gd/3RJdM0
Facebook  : https://m.facebook.com/majelismanis/
Twitter : https://twitter.com/grupmanis
Istagram : https://www.instagram.com/majelismanis/
Play Store : https://play.google.com/store/apps/details?id=id.manis