bismillahirahmanirahim
Beberapa minggu yang lalu ane sempat nyoba ngirim atikel ke sebuah harian pagi, namun tampaknya sampai tulisan tersebut mendekati waktu yang tidak relevan belum ada jawaban, maka dari pada mubazir akan saya posting saja tulisan tersbut disini, begini tuliannya :
Universitas adalah sebuah jenjang pendidikan tertinggi yang mampu mengangkat martabat seseorang. Bagi sebahagian masyarakat masuk perguruan tinggi hanyalah angan-angan belaka. Meskipun saya yakin setiap orang tua pasti ingin sekali menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang tertinggi ini, tak peduli apapun pekerjaan yang sedang mereka geluti dan berapapun penghasilan yang diperoleh. Banyak sekali diantara mereka yang tetap berjuang demi perbaikan masadepan anaknya melalui jenjang universitas.
Sayangnya karakter orang tua “tipe pejuang” tersebut sudah sangat langka untuk ditemui pada saat ini. Seringkali yang mereka lakukan hanyalah pasrah, dan menyuruh anaknya untuk bekerja serabutan saja selepas lulus dari bangku sekolah menengah atas. Hal ini dirasa cukup wajar, karena biaya untuk memasuki bangku kuliah terbilang tidak sedikit. Bahkan sekedar untuk mengikuti proses seleksi untuk masuk perguruan tinggi saja sseringkali mereka harus “bertaruh” uang ratusan ribu rupiah.
Mekanisme alot dalam proses penerimaan mahasiswa memang cukup efektif menyaring mereka yang benar-benar pantas memasuki universitas dari kubangan orang-orang yang sebenarnya tidak pantas lulus dari bangku sekolah, karena lulus hanya dengan mengandalkan hasil contekan belaka. Dalam mekanisme ini juga mungkin akan tersisih masyarakat yang tidak mampu akibat terbentur biaya. Mungkin pihak universitas mengidentikkan masyarakat tidak mampu dengan preman-preman pasar yang kurang mengenal etika, sehingga nama institusi perguruan tinggi dapat tetap bersih. Sangat disayangkan ternyata hasil yang didapat ternyata jauh dari memuaskan. Mahasiswa yang tersaring masih sulit dibedakan dengan preman pasar. Tawuran dan aksi anarkis mahasiswa di hampir setiap pelosok negeri menjadi bukti shahihnya. Mahasiswa yang mengaku aktivis masih sulit membedakan antara aksi unjuk rasa dengan aksi unjuk kekutan fisik, mereka masih mengutamakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. tak jarang mereka mengukur militansinya dengan tingkat kerusuhan yang dihasilkan. Merka bangga dengan keonaran yang mereka perbuat. Apakah ini yang disebut mahasiswa? Ternyata sikap premanisme tidak identik dengan rakyat miskin saja.
Sistem penyaringan yang gagal dan tidak adil ini harus segera dirubah, demi menyelamatkan kredibilitas perguruan tinggi juga kebanggaan serta martabat sebagai mahasiswa yang merupakan calon kaum cendekiawan masa depan. Pemerintah harus lebih aktif menyokong pembangunan di setiap universitas, sehingga biaya kuliah tidak lagi terlalu menghimpit dan mengeliminir kesempatan kaum miskin untuk merubah nasib. Dan para perusuh harus di arahkan agar perjuangan mereka dapat dituangkan daam wadah yang tepat, yaitu wadah yang layak bagi mahasiswa sebagai kaum intelektual. Lebih ekstrim lagi keberadaan preman-preman di universitas sebaiknya di tindak tegas, karena peran dan citra mahasiswa selama ini yang begitu besar dalam mengawal sejarah dan revolusi bangsa ini terlalu agung rasanya jika harus dikotori oleh para preman universitas.
Assalamualaikum...
EmoticonEmoticon