Seiring pengumuman kelulusan siswa SMA sederajat beberap hari yang lalu, maka telah resmi pulalah dilahirkannya gelombang kelompok baru dalam masyarakat yang disebut angkatan lulusan tahun 2011. Kelompok ini akan menhasilkan dua potensi, yaitu potensi positiv dan negativ. Potensi negativnya adalah peluang semakin bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia dikarenakan banyaknya keluarga yang tidak mampu membiayai anaknya untuk masuk universitas. Sementara potensi positivnya sangat banyak di berbagai aspek, seperti peluang terlahirnya kaum-kaum intelektual baru yang lebih baik danlebih bersemangat.
SNMPTN dan jalur masuk perguruan tinggi lainnya adalah ujung tombak untuk mengikis atau bahkan menghilangkan pengaruh negativ dari terlahirnya kelompok masyarakat baru ini. Tergantung bagaimana pihak yang memiliki wewenang untuk menjalankan sistem penerimaan calon mahasasiswa ini mampu mengelolanya dengan baik dan adil,
tanpa mendahulukan kepentingan kelompok atau individu tertentu. Sistem penerimaan para calon mahasiswa saat ini sebenarnya sudah dapat dikatakan cukup baik,system penerimaan yang terpusat membuat peluang untuk berkongkalikong atau berperda(pertalian darah, red) dengan orang dalam di universitas menjadi lebih kecil. Sayangnya sistem penerimaan calon mahasiswa ini masih tidakbegitu ramah pada masyarakat yang tidak mampu. Sistem pemberian beasiswa kebanyakan hanya berlaku bagi pelajar yang “super”. Sedangkan jumlah pelajar super itu sendiri sangat sedikit, jumlahnya dapat dikatakan satu berbanding delapan puluh. Hal ini membuat banyak masyarakat miskin tidak memiliki kesempatan untuk berkembang, untuk memutus rantai kemiskinan keluarganya atau bahkan sekedar meningkatkan kompetensi dalam hal mencari pekerjaan. Kesalahan saya lihat dari semboyan wajib belajar Sembilan tahun yang dicetuskan pertamakali pada zaman orde baru. Semboyan ini seakan menjadi batas akhir belas kasihan pemerintah terhadap pendidikan rakyat kecil. Terlebih lagi bagi mereka yang memilih SMA sebagai jenjang pendidikan sekolah lanjutan tingkat atasnya, praktis mereka belum mempunyai kompetensi apapun saat mencari kerja. Beastudi ETOS memang dapat dikatakan sebagai “BOS” versi perguruan tinggi yang mengakomodir kelemahan mahasiswa di bidang ekonomi, namun apa yang saya lihat ternyata hal ini belum begitu memberikan efek yang signifikan. Lagi-lagi beastudi ini hanya berlaku bagi mereka yang “super”. Memang hal ini dapat memacu para pelajar untuk berprestasi, akan tetapi, bukankah seorang ilmuan jenius sekaliber Isaac Newton saja justru berkembang pesat saat memasuki jenjang Universitas, masa sekolahnya justru tidak begitu cemerlang, sehingga ibunya hanya berharap Isaac dapat menjadi petani yang baik saat lulus sekolah. Hal ini kembali menegaskan perlunya pemberian kesempatan lebih besar bagi mereka yang kurang mampu.
Pihak swasta sebagai pengelola Universitas hendaknya tidak mengedepankan aspek ekonomis dalam mengelola perguruan tingginya, uang pembangunan yang terlalu menghimpit sebaiknya jangan terlalu besar, atau dibuat sistem menyicil saja. Untuk dana besar dalam hal percepatan pembangunan universitas mungkin dapat mengadopsi prinsip perputaran uang dalam perdagangan. Artinya beban biaya kuliah tidak perlu terlalu mahal, asalkan pihak universitas dapat menampung mahasiswa lebih banyak, banyaknya jumlah mahasiswa untuk sementara dapat disiasati dengan pengaturan penggunaan ruangan yang ketat dan efisien. Selain itu peran pemerintah juga sangat diharapkan dalam membantu pengembangan universitas-universitas yang ada, baik itu universitas negeri maupun swasta demi memperbaiki kualitas bangsa.
Di akhir tulisan ini saya ingin mengatakan suatu sebuah kalimat yang ingin sekali saya populerkan agar kelak dapat diadopsi pula oleh pemerinta. “lebih utama membangun moral dan kualitas bangsa, daripada berlomba-lomba membangun infrastruktur fisik yang mubazir”.
Assalamualaikum...
EmoticonEmoticon