bismillahirahmanirahim
Rezim Zionis-Israel menghadapi "tsunami" politik akibat perubahan di
dunia Arab, dan ini menjadi tanda-tanda keruntuhan rezim Zionis-Israel.
Nampak dengan sangat jelas, ketika Perdana Menteri Israel Benjamin
Netanyahu saat bersiap-siap untuk berbicara di Majelis Umum PBB pada
hari Jumat, pemimpin Zionis-Israel itu melihat wajah-wajah para pemimpin
dunia yang melihatnya dengan wajah yang muak.
Dunia Arab sudah berubah, dan sejak pertemuan global tahun lalu, di
mana Israel menghadapi beberapa tantangan baru, bahwa ekonomi rezim
Zionis-Israel itu, menghadapi kebangkrutan. Para pemimpin negara-negara
Arab dan Muslim telah menutup pintu rapat-rapat terhadap rezim
Zionis-Israel.
Sekutu terdekat Israel di dunia Arab, mantan Presiden Mesir Hosni
Mubarak, yang rela menjadi budak Zionis-Israel sekarang terkapar dan
harus diadili. Dewan militer Mesir yang menggantikan Mubarak sudah tak
lagi tertarik dan menjauhkan diri dari Israel. Dewan Militer Mesir,
lebih suka memberikan ruang kepada oposisi.
Masa depan perjanjian damai antara kedua negara, mungkin suatu saat,
hanya akan menjadi kenangan masa lalu. Karena suara-suara rakyat yang
menginginkan diakhirinya perjanjian damai Camp David (l978), yang
ditandatangai Anwar Sadat - Begin itu, yang dipandang sudah tidak ada
lagi gunanya bagi dunia Arab.
Sementara Israel masih harus menghadapi tantangan situasi yang
terjadi di Suriah, di mana Presiden Suriah Bashar al-Assad, menjadi
sasaran oposisi yang terus bergolak. Situasi yang terjadi bisa berakhir
dengan terjungkalnya al-Assad. Israel kawatir situasi politik di Suriah
ini akan merembet ke Lebanon, yang akan membawa situasi yang lebih buruk
lagi bagi Israel.
Sekarang hubungan Israel dengan Turki yang semula menjadi sekutu
terdekatnya menjadi compang-camping. Turki sudah tidak lagi melihat
pentingnya Israel. Karena itu, Israel kehilangan sekutu strategisnya
yang paling utama, selain kehilangan Mesir. Masih ditambah Otoritas
Palestina secara dramatis menaikkan taruhan lebih dari negosiasi, di
mana Otoritias Palestina (PA) mengajukan permintaan kepada PBB menjadi
anggota penuh, dan kemungkinan akan memenangkan dukungan.
Enam bulan lalu, Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak memperingatkan
akan terjadi tsunami diplomatik terhadap Israel. Barak mengatakan di
depan Institute Studi Keamanan Nasional di Tel Aviv bahwa rencana
Palestina untuk mendapatkan pengakuan PBB, merupakan upaya untuk
mendorong Israel menjadi negara apartheid seperti Afrika Selatan dahulu,
yang sudah ditinggal.
Barak mengakui, Turki sekarang lebih tegas, dan memberikan pengaruh
yang luas, terutama bagi ekonomi Israel. Tidak ada lagi yang dapat
diharapkan bagi masa depan hubungan antara Turki-Israel, sejak
terjadinya penyerangan oleh Israel terhadap kapal kemanusiaan Mavi
Marmara, yang menewaskan 8 orang warga negara Turki.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak meminta maaf atas
"kesalahan" nya itu, kemudian berakibat fatal, diusirnya Duta Besar
Israel dari Ankara, dan Turki membatalkan semua tingkat hubungan
kerjasama dengan Israel. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan
menggambarkan Israel sebagai "anak manja Barat." Salah satu mitra utama
Israel di dunia Islam tidak lagi mau menjawab telepon dari Tel Aviv, di
mana Benyamin Netanyahu ingin berbicara dengan Erdogan.
Minggu ini Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu menyalahkan
Israel, dan sekarang Turki menggalang hubungan dengan Mesir, Arab Saudi
dan dunia Arab. "Tidak ada yang bisa menyalahkan Turki atau negara lain
di kawasan ini untuk mengisolasi terhadap Israel," katanya kepada The
New York Times.
Hubungan Israel dengan Mesir, salah satu dari dua negara Arab yang
memiliki perjanjian perdamaian, juga terus menurun. Dewan militer
sekarang mempersiapkan pemilihan umum yang memungkinkan semakin
tumbuhnya sikap antipati terhadap Israel. Karena setiap partai politik
di Mesir telah menjadikan Israel sebagai isu utama mereka. Semua partai
di Mesir menginginkan diakhirinya perjanjian perdamaian dengan Israel.
Menurut penelitian Lembaga Pew Trust, rakyat Mesir menginginkan
perjanjian perdamaian dibatalkan, di mana berdasarkan hasil jajak
pendapat mayoritas (54%) rakyat mendukungnya. Bahkan Perdana Menteri
Mesir Essan Sharaf menegaskan perjanjian damai dengan Israel sangat
beresiko. Berbicara kepada sebuah jaringan televisi Turki, Sharaf
mengatakan: "Perjanjian Camp David bukan hal yang sakral dan selalu
terbuka untuk diskusi, dan kita menginginkan hal yang menguntungkan
dan perdamaian yang adil ... dan kita bisa membuat perubahan jika
diperlukan", tegasnya.
Keamanan perbatasan Israel-Mesir bertambah memburuk. Para pejabat
militer Mesir mengakui kepada CNN bahwa Al Qaeda dan kelompok Salafi
telah membangun kekuatannya di gurun Sinai.
Pada bulan Agustus, sebuah kelompok jihad yang berbasis di Gaza
menyerang warga sipil Israel di Negev - menewaskan delapan warga sipil.
Kemudian, pasukan Israel menewaskan lima penjaga perbatasan Mesir.
Beberapa hari kemudian, meledak aksi protes yang marah menyerbu Kedutaan
Besar Israel di Kairo, dan membakar bendera Israel dan menghancurkan
kedutaan negeri Zionis itu. Ini akan mendorong hancurnya hubungan antara
Mesir - Israel.
Kekuatan politik utama di Mesir, Ikhwanul Muslim, menginginkan
perjanjian damai dengan Israel dibatalkan. Kelompok Ikhwan telah
mendapatkan kekuatan di Mesir. Dalam pidato Agustus di Tahrir Square,
Kairo, seorang ulama Ikhwan Safwat Hegazi menyatakan: "Kami akan
menunjukkan kemarahan kepada mereka."
Hubungan Israel dengan Yordania, dimana hampir setengah dari
penduduknya warga Palestina, juga memburuk. Pada hari Rabu, Raja
Abdullah dari Jordania mengatakan di depan Majelis Umum PBB bahwa
"Frustrasi rakyat Palestina berada pada puncaknya. Bahkan ketika kita
berbicara pembangunan pemukiman Israel sedang berlangsung.. Kemarahan
semakin bertambah ..", ujar Raja Abdullah kepada The Wall Street
Journal, Minggu ini. Ada peningkatan frustrasi di kalangan rakyat
Yordania, karena Israel telah "Menaruh kepala mereka di pasir dan
berpura-pura tidak ada masalah", ujarnya.
Menghadapi semua situasi yang negatif itu, Netanyahu nampak bahwa
kebijakannya tidak memiliki pilihan arah yang jelas. Barak Ravid,
koresponden diplomatik berhaluan kiri harian Israel, Haaretz, mengatakan
kepada CNN, "Sekarang satu-satunya strategi adalah strategi tidak ada
... Jawaban Israel akan, "Tidak ada Dewan Keamanan, tidak ada Majelis
Umum, dan tidak ada untuk setiap resolusi yang akan mendukung negara
Palestina", ucapanya.
Ini merupakan bunuh diri bagi Israel dan Netanyahu, yang sekarang
sudah terkepung masyarakat dunia akibat tindakannya yang sangat
kolonialis itu.
Amerika Serikatpun pada saatnya tidak akan lagi mampu menolong
"shohibnya" yang bernama Zionis-Israel yang sangat rasis dan biadab itu.
(mas)
Sumber : eramuslim.com
Assalamualaikum...
EmoticonEmoticon